Senin, 07 Februari 2011

KEARIFAN LOKAL yang masihkah ‘ARIF’

Dari sebuah sumber (maaf lupa asal sumbernya), aku dapatkan maksud dari istilah kearifan lokal. Sorry saya kutip. Kearifan lokal selama ini dimaknai sebagai sebuah proses kompromi budaya yang dilakukan ketika budaya lokal bersentuhan dengan budaya-budaya lain dari luar. Dalam proses tawar-menawar itu kearifan lokal mendorong terjadinya sebuah perubahan sebagai sebuah konsekuensi logis kenyataan bahwa suatu bangsa bukanlah merupakan satu-satunya komunitas di dunia ini.
Yang mau aku bahas adalah suatu budaya yang sudah dianut dan diterima oleh masyarakat sekitar. Budaya yang relatif masih baru. Tadinya dari daerah pinggiran dan dianut oleh warga asli. Kemudian meluas sampai ke kota dan dianut oleh siapapun yang bertempat tinggal di sini. ‘Kearifan’ itu bernama panggungan.
Panggungan itu adalah sebuah pemberian sebagai ungkapan terimakasih dari seseorang karena perhatian orang lain. Berbentuk benda. Benda apa saja sesuai momennya. Momennya adalah mengunjungi orang melahirkan, teman yang menyunatkan anaknya, pindah rumah, berangkat atau pulang dari ibadah haji dll. Biasanya tuan rumah akan memberikan tanda terimakasih dengan benda.
Nilai benda ini (baca : harga), bisa berapa saja. Tapi pada umumnya, nilainya sesuai dengan strata sosial orang yang punya hajat. Jadi ada, yang bernilai 10 ribuan, 50 rb, dsb. Yang aku dapat selama ini, kalau diperkirakan dari nilainya, antara 3 rb – 500 rb.
Benda yang diberikan, bisa apa saja. Bisa berbentuk makanan atau peralatan rumah tangga yang kecil-kecil, pakaian, atau apapun barang di toko yang mungil, unik dan berharga ekonomis. Ini kalau tuan rumah orang ‘biasa’. Jika orang ‘berpunya’ maka panggungan akan lebih tampak berharga. Beberapa kali aku dapat panggungan yang kalau dinilai dengan uang, bernilai lebih dari Rp 300 ribu. Bayangkan ! itu baru pemberian untuk satu orang. Padahal yang diberikan bisa beratus-ratus orang.
Tapi ada juga, pemilik hajat yang mengelompokkan nilai panggungan sesuai dengan tempatnya di kelompok masyarakat. yang orangnya tampak sederhana akan ‘mendapat’ panggungan yang ‘sederhana’ (baca : murah) juga. Tapi yang kelihatan ‘borju’ akan mendapat yang ‘oke’ juga.
Dasar filosofinya bagus. Menghargai perhatian orang pada kita. Hanya sekarang ini, mungkin filosofi itu sudah bergeser dengan yang namanya gengsi dan keharusan. Sebetulnya panggungan adalah ‘sunnah’, tapi belakangan ini sudah menjadi ‘wajib’. Orang akan heran dan mempergunjingkan jika datang ke orang yang sedang punya ‘gawe’, pulangnya tidak membawa apapun. Atau bahkan, jika panggungannya dinilai tidak berarti, tidak berharga, atau kasarnya berharga murah, jika orang yang didatangi dikategorikan orang berpunya.
Paling tidak, ada anggapan bahwa jika mengunjungi seseorang, haram hukumnya jika tamu kita pulang dengan tangan kosong. Kalau sekarang belum siap atau persiapan kita kurang maka di lain hari ‘itu’ harus diberikan ke rumah tamu yang belum kebagian tadi. Kalau tidak punya uang, hutang dulu. Masya Allah !
Dari pembicaraan di kalangan ibu-ibu, jika punya ‘gawe’, banyak yang merasa dipusingkan dengan pemilihan jenis panggungan yang tepat, tidak memalukan tapi ekonomis. Bagaimana tidak, dalam satu momen tuan rumah kadangkala harus menyiapkan sampai 500 buah panggungan atau lebih, tergantung dari populer tidaknya orang itu. Suatu jumlah yang cukup membelalakkan mata dan menguras kantong. Padahal jika tidak disediakan pun, sebetulnya tidak apa-apa. Sayangnya, itu kalau di kelompok masyarakat lain. Bukan di sini.
Bahkan tidak sedikit yang menyembunyikan perhelatan acara, bahkan mengurungkan niat membuat acara karenanya. Dari tahun ke tahun, ada saja cerita, baik yang aku dengar dengan telingaku sendiri atau dari orang lain. Orang-orang yang mengundurkan perjalanan haji atau mengadakan perhelatan lain karena tidak ada dana untuk ini. Tragis bukan ? sesuatu yang wajib menjadi nomor dua setelah sunnah.
Khusus untuk perjalanan haji. Ada juga yang berangkat dari daerah lain untuk menghindari kewajiban ini. Untuk yang terakhir, mungkin ini win-win solution.
Sudah banyak yang merasa, perlu kembali ke filosofi awal ‘apa arti panggungan yang sebenarnya’. Atau bahkan tidak sedikit juga yang ingin menghentikannya. Tapi sayangnya belum ada yang punya nyali untuk memulai. Atau jika ada yang punya nyali untuk melaksanakan, akan digagalkan keluarga lain yang ciut nyalinya. Atau seperti aku tadi. Ada teman baik yang tidak tega temannya digunjingkan. Mau jadi orang ‘muka badak’, gagal deh.
Sesuatu yang menyenangkan, jika berubah menjadi keharusan, maka akan menjadi tidak menyenangkan lagi.
Jadi apakah masih bisa dikatakan ‘arif’.

UJIAN KEYAKINAN

Dalam situasi, kondisi dan permasalahan apapun kita akan terhadang oleh yang satu ini. Termasuk pada perjalanan dan ibadah haji. Hal ini aku rasakan setelah seluruh kegiatan haji selesai, sampai tanah air. Sekarang ini baru aku rasakan bahwa setiap orang yang berangkat menunaikan ibadah haji harus tahu dan yakin akan tuntunan atau ajaran ibadah hajinya di tanah air. Nanti setelah berada di tanah suci, tinggal melaksanakannya saja.
Akan ada banyak keraguan bagi orang yang kurang informasi dan kurang yakin dengan pengetahuannya.
Pertama, dimulai saat akan berangkat naik pesawat. Kami yang termasuk gelombang II akan langsung menuju Makkah. Berarti akan langsung menunaikan umroh. Jadi harus memakai pakaian ihrom sebelum masuk Makkah. Ini permasalahannya. Kami yakin, bahwa batas ihrom itu sebelum mendarat di bandara King Abdul Aziz. Jadi agar tidak repot, sebelum masuk pesawat aku sudah memakai pakaian ihrom. Kalau mas nang pakai sarung ihromnya aja. Atasnya pakai kaos. Nanti ganti di atas pesawat. Tuntunan lain menyatakan bahwa kita pakai pakaian ihrom di bandara saja. Untuk praktisnya. Ini sesuai dengan seruan ulama di Indonesia. Mau ikut yang mana, silakan saja.
Perbedaan lain, hari-hari waktu menunggu pelaksanaan haji, ada yang berulang kali melakukan umroh. Padahal tuntunannya tidak boleh ada yang umroh sebelum haji, kecuali umroh wajib. Belakangan aku tahu dari teman yang mendapat pencerahan dari seorang ulama Arab langsung, ternyata umroh sebelum haji, atau umrah pada bulan haji selain yang wajib adalah haram hukumnya.
Perbedaan lainnya, pelaksanaan pembayaran dam dilakukan setelah prosesi haji selesai atau setelah tahallul. Tapi ada yang melaksanakan sebelum haji.
Saat di Arafah menuju Muzdalifah, ada yang sholat maghrib dan isya di jamak di Arafah. Tapi tuntunannya sholat itu dilaksanakan di Muzdalifah.
Ada yang mengusap-usap atau bahkan memeluk Ka’bah atau mengusapkan pakaian atau benda lain ke Ka’bah, karena menganggap itu suci. Sebetulnya boleh aja, tapi jika itu bertujuan untuk jimat dan lainnya itu akan menjadi syirik. Padahal Ka’bah itu ditujukan untuk persatuan, sebagai arah sholat seluruh muslim di dunia.
Di madinah, ada mewajibkan sholat selama 40 waktu di masjid nabawi. Padahal tidak ada kewajiban untuk itu. Hanya saja rasanya sayang sekali, jika sudah sampai di sana sholatnya di tempat lain. Apalagi hotel tempat menginap sangat dekat dengan masjid nabawi.
Dan masih banyak perbedaan lain yang kita pelajari dan yang akan kita temui. Jika keyakinan kita tidak kuat, maka kita akan diliputi perasaan was-was akan keabsahan ibadah kita sendiri.
Maka sekali lagi, belajarlah dan kuatkan keyakinan kita.

UJIAN UNTUK NIAT BAIK

Ada kata-kata bijak yang saya ingat. Berasal dari negara barat. (negara barat Yang mana, tidak tahu). Yaitu hati-hati dengan apa yang kamu inginkan.
Mungkin maksudnya, kalau betul-betul terkabul, seringkali kita tidak siap untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi.
Setiap orang yang berangkat ibadah haji selalu punya keinginan untuk berbuat baik di sana. Apapun jenis perbuatan baik itu, pasti dilakukan.
Suatu saat, setelah sholat isya, mas nang ketemu dengan seorang tua yang kehilangan kelompoknya dan merasa tersesat. Muncullah rasa ingin menolong. Mas nang pesan, aku antar bapak ini dulu, tunggu di sini saja. Oke sayang. Tunggu punya tunggu, sampai 2 jam. Akhirnya aku terusir oleh petugas kebersihan yang akan mengepel. 1 jam kemudian ada telpon, ternyata mas nang. Rupanya dari mas nang. Mas nang sudah dipondokkan karena mencari-cari aku tidak ketemu.
Akhirnya mas nang baik lagi mas nang baik lagi ke masjid menjemput. Bayangkan lelahnya. Aku sendiri khawatir mengingat riwayat sakitnya mas nang. Sampai di pemondokan tergeletak kecapaian. Ya deh, terima kasih dan istirahat ya sayang.
Itulah, niat baik sekalipun penuh tantangan, jika terlaksana.

UJIAN KESABARAN

Kata ini yang sering dinasehatkan orang pada siapapun yang akan berangkat haji. Memang, ini juga salah satu yang membuat kita ikhlas menjalankannya.
Dimulai dari pernak-pernik persiapan. Baik persiapan bekal diri sendiri, bekal untuk yang di rumah, kewajiban memenuhi kelengkapan dari pemerintah dan masih banyak lainnya.
Ujian kesabaran pertama yang masih segar diingatan adalah saat di asrama haji. Seorang kenalan, paling tidak aku kenal dia, entah dia kenal aku atau tidak. Tanpa ba-bi-bu saat bersama-sama menukar uang rupiah ke real, bertanya ‘ikut kelompok mana’ setelah kujawab, komentarnya ‘ikut haji sekali saja, sebaiknya pilih yang benar’, weleh…weleh… masya Allah. Ini dia yang namanya ujian sabar. Aku cuma bengong saja, nggak perlu ditanggapi deh. Sambil mengingatkan diri sendiri, jangan sekali-kali melecehkan orang lain, mungkin saja dia yang kita lecehkan malah lebih baik dari kita.
Di masjidil Haram, mencari kapling kecil untuk sholat juga tantangan. Kadang sudah dapat diusir petugas. Apalagi di daerah Multazam, di sepanjang arah depan pintu Ka’bah. Bisa sujud di sela-sela kaki orang lain itu juga sudah baik sekali.
Belum lagi, kalau sudah dapat tempat ada saja orang lain yang menyodok mencari tempat, bahkan saat kita sedang sholat sekalipun sajadah kita bisa diseret minggir sedikit agar dia mendapat tempat. Wah, taktik yang bagus nih. Soalnya orang sholat ‘kan enggak bisa protes. Dasar licik !
Di kemah Mina. Semua hanya dapat sedikit kapling untuk meluruskan tubuh. Bagi yang dapat tempat di pojok, akan sulit untuk berjalan keluar masuk. Karena jalan tertutup orang-orang yang bergelimpangan, tidur. Tapi orang yang berada di pintu masuk seringkali sulit diberi pengertian untuk mengatur arah tidurnya. Padahal kalau diatur sedikit dia akan nyaman tidak dilangkahi orang, yang melewati juga nyaman tidak mengganggu. Jadi kalau ada yang lewat kadang-kadang mengomel atau bahkan tidak membolehkan orang lain lewat. Mungkin capek juga dia dilewati orang. Yah sabar.
Di Madinah, untuk sholah di roudhoh kami dibagi-bagi dalam kelompok sesuai asal negaranya. Jika kelihatan sudah banyak baru dapat giliran untuk masuk dan sholat di sana. Tapi petugas di sini agaknya pilih kasih. Jamaah negara lain seperti turki misalnya. Akan dapat giliran berulang kali. Padahal jumlah mereka segelintir. Sedangkan jamaah Indonesian sampai berduyun-duyun belum diberi giliran. Yang seperti ini juga disuruh sabar.
Dan ada banyak kejadian lainnya yang menuntut kesabaran.
Kata orang hal-hal aneh seperti ini merupakan gambaran perilaku kita sehari-hari. Kalau itu bisa disebut ‘aneh’. Tapi setelah mengobrol dengan teman-teman kata mereka, kejadian ini bukan aneh. Itu kejadiah biasa jika orang banyak berkumpul. Yang aneh itu adalah kejadian yang tidak masuk akal namun kita alami. Apa begitu ya ? ya sudahlah.
Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mengontrol emosi kami.

BERBAGI

Di tanah suci banyak jamaah yang berlomba-lomba memberi kebaikan untuk menolong orang lain. Memberi sedekah pada orang lain. Maka dari itu, hampir setiap hari ada saja orang yang memberikan sedekah berupa makanan atau benda lain pada jamaah yang kebetulan lewat. Ada yang di salurkan lewat pemondokan kami. Ada juga yang diberikan di jalan-jalan umum. Ada yang diberikan di dalam majidil haram.
Aku sering mendapat sedekah ini. Di masjid, ada saja yang memberi kue, kurma, permen, kacang, dll. Bahkan aku ingat sekali saat udara sangat dingin dan tenggorokan terasa kering ada yang membawa termos besar, berisi teh hangat dan mempersilahkan kami mengambilnya. Alhamdulillah, nikmat sekali.
Bahkan di masjid, saat sedang tidur-tiduran ada saja yang memberi. Ya di sini, kalau tidak memilih-milih makanan, kita akan kenyang terus. Itu mungkin memang rejekiku, karena ada teman yang jarang mendapat ini.
Tidak hanya pemberian berupa benda. Kita pun sering mendapat kebaikan jasa dari orang lain. Saat sedang haus dan kondisi masjid sangat padat, ingin minum, ada yang menawarkan diri mengambilkan. Mengambilkan Al qur’an dari rak yang agak jauh. Bingung cari tempat sholat ada yang menawarkan sampingnya yang secuil untuk kutempati. Ada saja kebaikan yang kuterima.
Bahkan mas nang di Madinah mendapat kebaikan dari orang lain yang mengharukan. Mendapat kesempatan sholat di roudhoh itu sangat sulit. Apalagi di bagian pria. Orang-orangnya lebih sulit diatur. Seharusnya setiap jamaah sholat bergantian dan tidak boleh berlama-lama sholat ditempat ini. Namun di bagian pria, orang-orang justru duduk dan membaca Al Quran di sana. Egois amat sih.
Ada 2 orang bapak mengajari dan menunjukkan jalan untuk mas nang sholat di roudhoh. Dengan susah payah akhirnya mas nang dapat mereka carikan tempat sholat. Tapi sayangnya mereka sendiri tidak dapat tempat dan diusir dari roudhoh. Akhirnya mas nang sendiri sholat di sana, dengan perasaan yang sangat berterima kasih dan haru, mengingat 2 orang tadi.
Ya Allah semoga semangat persaudaraan ini tetap subur di hati kami.

DI ASRAMA HAJI

Setiap jamaah haji reguler akan diinapkan dulu di asrama haji untuk memudahkan pengecekan dan pengaturan pemberangkatannya. Lamanya menginap bervariasi. Kalau kami, masuk asrama pk 3.00 sore dan berangkat ke bandara keesokan harinya pk 6.00 pagi. Suplai makanan di sini sangat melimpah, baik makanan utama maupun makanan kecil. Diibaratkan belum lapar, sudah disuruh makan lagi.
Cek kesehatan dan pendataan obat-obatan yang kami bawa. Ternyata penting juga bawa obat-obatan, karena obat yang disediakan oleh tenaga kesehatan di tanah suci, kurang mencukupi untuk kebutuhan rombongan kami. Belum berangkat haji persediaan obat sudah habis. Karena seminggu sampai 10 hari setelah sampai Makkah, rata-rata jamaah sudah mulai terserang sakit flu. Batuk, pilek dan demam.
Saat berangkat, baru diberikan paspor dan uang untuk makan sehari2, sebanyak 1500 real. Itu cukup banget kok. Rupanya pemerintah kita sudah memikirkan tentang uang living cost ini. Kalau tidak dimasukkan ke dalam ongkos naik haji, mungkin ada beberapa jamaah kita yang lupa atau kurang bekalnya saat berangkat ke tanah suci. Karena disibukkan atau ada sangat banyak keperluan yang dikeluarkan untuk persiapan berangkat haji. Jangan seperti jamaah dari negara lain. Ada yang di tanah suci meminta-minta pada jamaah lain, katanya untuk makan. Itulah mereka yang berangkat dengan modal iman dan semangat besar. Sementara modal di kantongnya kecil. Padahal sudah ada tuntunannya, bahwa orang yang berangkat haji itu harus cukup bekal untuk di tanah suci dan yang ditinggalkan di tanah air.
Proses boarding sudah dilakukan di asrama haji, maka dari itu kami langsung diantar ke kaki pesawat dengan bus bandara dan langsung naik pesawat.
Di pesawat praktis tidak ada yang kami lakukan. 10 jam menunggu landing. Di pesawat kalau ke kamar mandi, akan ketahuan joroknya orang Indonesia. Kondisinya persis seperti kamar mandi umum di terminal bus, sampah dimana-mana. Bau. Masya Allah banget.
Akhirnya ada pemberitahuan kami akan melewati batas Miqot yaitu batas menggunakan pakaian ihrom. Para wanita memang sudah berpakaian ihrom sejak dari asrama. Sedangkan para bapak ada yang memakai pakaian ihrom separuh saja, jadi masih perlu menyempurnakan. Nah, para bapak ini sibuk sendiri-sendiri, karena waktunya sangat sempit dan ruang untuk berbenah juga terbatas. Tapi ada juga bapak yang berkeyakinan untuk berihrom di bandara King Abdul Aziz.
10 menit kemudian pesawat yang kami tumpangi bersiap-siap mendarat.
Akhirnya sampai juga di Arab.
Ya Allah berilah kami kemudahan untuk menjalai ibadahMu ini. Amin.

MANASIK

Setiap calon jamaah haji pasti akan menempuh kursus singkat. Untuk mempelajari A – Z pelaksanaan ibadah haji. Memilih tempat di mana kita akan memasrahkan diri untuk belajar dan diajari. Apalagi seperti kami ini yang pengetahuan hajinya O (nol) besar.
Akhirnya kami dapat tempat. Mereka mengklaim bahwa mereka bukan KBIH. Katanya ’kami ini hanya panitia haji’. Sejak awak kami ditekankan bahwa kami akan dilatih untuk menjadi haji mandiri. Yaitu jamaah haji yang diharapkan dapat mengurusi diri sendiri dalam urusan pelaksanaan ibadah, doa-doa, dll.
Memang ada juga kelompok haji lain atau KBIH yang pembimbingnya menjadi pusat acuan jamaahnya. Maksudnya, pemahaman haji diberikan sekilas saja. Dan katanya yang terpenting di tanah suci nanti jamaah akan dibimbing secara keseluruhan, baik ibadah, doa, dll.
Maka dari itu, saat thawaf, sa’i, lempar jumrah, ada saja yang berdoa keras-keras bahkan kalau boleh memakai pengeras suara yang ucapannya diikuti oleh sekelompok orang.
Aku dan mas nang tidak mau seperti itu. Kami yakin, ibadah adalah hal yang personal. Setiap orang bertanggung jawab dengan ibadahnya sendiri. Dan kita tidak boleh menyalahkan orang lain atau orang yang kita ikuti, jika ternyata ajarannya keliru. Kitalah yang harus belajar untuk tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Untuk urusan ibadah, kita tidak boleh hanya mengikuti saja. Itulah sebabnya ayat pertama yang diturunkan adalah ‘bacalah’. Artinya kita harus belajar. Dan artinya sebagai seorang muslim kita harus pintar. Ya Allah, Semoga apa yang aku yakini ini benar.
Kami manasik selama 12 pertemuan, itu sudah termasuk praktek pelaksanaannya. Mengobrol dengan teman-teman, keder juga aku. Kelihatannya mereka sudah pintar-pintar. Ternyata ada teman yang sudah ikut manasik di lain tempat. Bahkan ada yang sudah ikut manasik sejak tahun kemaren. Waduh jadi minder nih.
Kami diberi semua pemahaman berhaji dari semua aliran. Yang dari NU begini, yang dari MUI begini, yang dari Muhammadiyah begini. Intinya kami diberi semua jenis variasinya, dan silakan pilih yang mana yang terasa sreg dan ingin dilaksanakan. Niatnya bagus sih. Tapi jadinya kok malah bingung. Ada teman yang saking bingungnya, akhirnya ikut manasik di tempat lain, yang mengajarkan satu jenis saja. Tapi tidak berpindah kelompok
Tapi ada hal positif yang kami rasakan. Memang panitia di sini memperkenalkan semua jenis aliran, tapi pertama kali yang diajarkan adalah haji menurut nabi. Nah, yang pertama inilah yang sreg di hati kami dan yang kami laksanakan.
Oke, kami paham. Garis besar perjalan haji kami yang gelombang II ini adalah :
  1. Masuk asrama haji, waktu mau berangkat naik pesawat sudah bersiap mengenakan pakaian ihrom
  2. Sampai di Makkah langsung umroh wajib, karena kami adalah haji tamattu’
  3. Menunggu pelaksanaan haji
  4. Berangkat ke mina, kalau mau tarwiyah dulu.
  5. Pagi tgl 8 dzulhijjah, ke Arafah
  6. Sorenya setelah maghrib ke Muzdalifah, tapi sholat maghribnya di Muzdalifah
  7. Tengah malam ke Mina
  8. Paginya lempar jumrah Aqabah, lalu potong rambut sedikit untuk tahallul
  9. Besoknya selama 3 hari berturut-turut lempar jumrah
  10. Kembali ke makkah, thawaf ifadah dan sa’I
  11. Thawaf wada, sebelum berangkat ke Madinah
Ya Allah luruskan niat kami ibadah hanya untukMu.

MENGINAP DI ASRAMA HAJI

Setiap jamaah haji reguler akan diinapkan dulu di asrama haji untuk memudahkan pengecekan dan pengaturan pemberangkatannya. Lamanya menginap bervariasi. Kalau kami, masuk asrama pk 3.00 sore dan berangkat ke bandara keesokan harinya pk 6.00 pagi. Suplai makanan di sini sangat melimpah, baik makanan utama maupun makanan kecil. Diibaratkan belum lapar, sudah disuruh makan lagi.
Cek kesehatan dan pendataan obat-obatan yang kami bawa. Ternyata penting juga bawa obat-obatan, karena obat yang disediakan oleh tenaga kesehatan di tanah suci, kurang mencukupi untuk kebutuhan rombongan kami. Belum berangkat haji persediaan obat sudah habis. Karena seminggu sampai 10 hari setelah sampai Makkah, rata-rata jamaah sudah mulai terserang sakit flu. Batuk, pilek dan demam.
Saat berangkat, baru diberikan paspor dan uang untuk makan sehari2, sebanyak 1500 real. Itu cukup banget kok. Rupanya pemerintah kita sudah memikirkan tentang uang living cost ini. Kalau tidak dimasukkan ke dalam ongkos naik haji, mungkin ada beberapa jamaah kita yang lupa atau kurang bekalnya saat berangkat ke tanah suci. Karena disibukkan atau ada sangat banyak keperluan yang dikeluarkan untuk persiapan berangkat haji. Jangan seperti jamaah dari negara lain. Ada yang di tanah suci meminta-minta pada jamaah lain, katanya untuk makan. Itulah mereka yang berangkat dengan modal iman dan semangat besar. Sementara modal di kantongnya kecil. Padahal sudah ada tuntunannya, bahwa orang yang berangkat haji itu harus cukup bekal untuk di tanah suci dan yang ditinggalkan di tanah air.
Proses boarding sudah dilakukan di asrama haji, maka dari itu kami langsung diantar ke kaki pesawat dengan bus bandara dan langsung naik pesawat.
Di pesawat praktis tidak ada yang kami lakukan. 10 jam menunggu landing. Di pesawat kalau ke kamar mandi, akan ketahuan joroknya orang Indonesia. Kondisinya persis seperti kamar mandi umum di terminal bus, sampah dimana-mana. Bau. Masya Allah banget.
Akhirnya ada pemberitahuan kami akan melewati batas Miqot yaitu batas menggunakan pakaian ihrom. Para wanita memang sudah berpakaian ihrom sejak dari asrama. Sedangkan para bapak ada yang memakai pakaian ihrom separuh saja, jadi masih perlu menyempurnakan. Nah, para bapak ini sibuk sendiri-sendiri, karena waktunya sangat sempit dan ruang untuk berbenah juga terbatas. Tapi ada juga bapak yang berkeyakinan untuk berihrom di bandara King Abdul Aziz.
10 menit kemudian pesawat yang kami tumpangi bersiap-siap mendarat.
Akhirnya sampai juga di Arab.
Ya Allah berilah kami kemudahan untuk menjalai ibadahMu ini. Amin.

DI BANDARA KING ABDUL AZIZ

Karena kami adalah jamaah haji gelombang 2, maka kami akan ke makkah lebih dulu lalu ke Madinah. Turun pesawat, ternyata saat itu suhu udara sama atau malah lebih sejuk daripada suhu gresik. Mungkin kira-kira 30° C. Suasana sepi. Di luar bayangan sebelumnya. Kupikir bandara akan penuh sesak dengan kedatangan jamaah, karena musim haji sudah semakin dekat. Ternyata setelah masuk pintu gerbang, barulah kami tahu. Memang bandara penuh sesak oleh jamaah seluruh dunia. Serangkaian pemeriksaan dimulai. Pertama kali hanya dicek kelengkapan saja. Di pintu pertama antre mengantre dimulai. Cek paspor kesehatan dulu. Petugas di sini ramah. Mereka masih muda-muda, tampak bersemangat. Padahal aku membayangkan akan bertemu orang Arab yang gemuk, malas dan sombong, seperti gambaran orang Arab selama ini. Keluar pintu pertama, harus berebut troli. Jumlah troli sangat sedikit. Sementara kami sangat perlu troli itu, karena koper besar hanya dipasangi roda kecil, tidak ada penariknya, sangat berat ditambah dengan tas kecil dan tas jinjing. Ada beberapa teman yang rodanya pun sudah lepas. Apalagi kami sudah berpakaian ihrom, pakaian ihrom yang dipakai pertama kali. Para bapak kelihatan sangat berhati-hati saat bergerak. Maklumlah. Kalau lepas ‘kan ngeri. Akhirnya kami berbagi troli.
Pintu pemeriksaan kedua, pemeriksaan paspor. Alur antrean dipisah antara pria dan wanita. Ada ibu yang kelihatan berat berpisah jalur antran dengan suaminya. Kayaknya masih shock ada di tempat asing. Petugasnya masih sangat muda, ramah, senyum-senyum, mencoba berkomunikasi pakai bahasa indonesia. Lucunya petugas bandara diajak ngomong bahasa inggris nggak bisa. Padahal kalau di Indonesia, standarnya, petugas bandara adalah bisa bahasa inggris. Minimal tahu sama tahu maksudnya. Paspor di’dok’. Resmi deh masuk Arab.
Di pintu pemeriksaan ketiga, pemeriksaan isi tas. Tapi tidak dibuka, cuma dilihat lewat X-ray saja. Jadi cepat.
Pintu keempat. Ini yang kami tidak tahu. Ini pemeriksaan untuk apa ? tapi masya Allah perjuangan untuk diperiksa di sini yang lebih membutuhkan perjuangan. Pemeriksaan tas ternyata tidak ketat banget. Sepertinya petugas sudah lelah memelototi tas-tas yang mengalir di x-ray. Tidak ada sistem antre, siapa cepat dia dapat. Setelah ini selesailah semua rangkaian pemeriksaan. Belakangan setelah semua proses perjalanan haji selesai, baru terasa saat inilah yang paling capek dan mandi keringat.
Kami di arahkan ke ruang tunggu untuk menunggu bis yang akan membawa ke pondokan. Ruang tunggu ini sudah di kelompokkan berdasarkan negara asal jamaah. Jadi kami di sini bertemu dengan jamaan dari Indonesia saja.
Kami berburu kamar mandi. kami akan sholat maghrib dan isya di jamak. Alhamdulillah antrean tidak banyak, tapi harus sabar.
Kelompok kami menunggu kira-kira 2 jam. Lalu ada perintah untuk antre masuk bus. Di sebelah kelompok kami ada, kelompok yang sepertinya dari daerah Sumatra. Mereka sudah berbaris lebih lama, kira-kira mereka sudah berada dalam barisan selama ½ jam. Jadi kami mempersiapkan diri untuk bersabar antra lebih lama dari mereka. Petugas haji Indonesia di sini kelihatan galak dan pemarah. Mungkin mereka juga sudah capek atau bosan, tapi jengkel juga diperlakukan seperti anak kecil. Dibentak dan dimarahi. Sebel. Petugas Arabnya sendiri malah lebih sabar dan ramah. Aku ingat, kata seorang teman orang Indonesia ini masih bermental inlander.
Kami antre hanya kira-kira ½ jam, kami disuruh berjalan memasuki bis, sesuai dengan nomor rombongannya. Alhamdulillah. Padahal kelompok dari Sumatra tadi, belum dipanggil. Kami dilayani duluan. Di dalam bus semua paspor dikumpulkan, diperiksa lalu dibawa oleh petugas yang dari Arab. Yah, kami adalah jamaah haji Indonesia pertama yang menggunakan paspor hijau. Kata teman, kalau dipegang sendiri, ditakutkan ada yang akan jalan-jalan ke tempat lain. Misalnya ke Mesir. Wah, nggak kepikir ‘tuh. Pokoknya ke sini mau ibadah.
Perjalanan Jeddah-Makkah, 2 jam. Bergantian ada yang memimpin Talbiyah. Tapi, karena capek dan ngantuk akhirnya, suasana jadi sepi. Mulai dari Jeddah sampai Makkah, aliran suplai makanan mengalir terus. Nasi kotak, buah, kue, pokoknya lengkap deh. Kalau dimakan semua kenyang ‘tuh. Ada welcome drinknya lagi, yang jelas air zam zam botolan. Tapi sayang kalau diminum, jadi disimpan. Itu disimpan, sampai kembali ke Indonesia. Aku minum air aqua biasa.
Akhirnya sampai juga di pondokan. Ternyata di daerah Jarwal. Kata petugas indonesia jarak pondokan-Masjidil Haram 1 km. Tapi, setelah kami jalani ternyata 2 km. Dasar !
Kami tetap di dalam bis, belum boleh turun. Sebelum pembagian kamar tuntas. Betul juga. Ternyata salah tempat, gedung ini bukan gedung yang sebenarnya dituju. Bus berjalan lagi mencari gedung yang memang diperuntukkan untuk kami. Sejak manasik, kami memang dipesan untuk tetap dalam bus, sampai karom memberi komando boleh turun.
Sampai juga di pondokan kami yang sebenarnya. Ternyata tidak jauh dari tempat yang tadi. Sementara menunggu karom berunding membagi kamar, kami hanya melihat-lihat suasana luar dari dalam bus. Melihat proses koper-koper kami diturunkan. Miris juga melihatnya. Bagaimana tidak ? koper kami dibuang saja dari atas bus. Nggak heran, ada majic jar teman kami yang pecah, piring pecah, yang bawa minyak, bocor, bahkan besi penahan koper, patah. Untung magic jar kamisendiri, kami masukkan ke tas tenteng. 15 menit menunggu terasa sangat lama, karena kami ingin istirahat. Akhirnya kami diperbolehkan turun bus.
Aku dan mas nang dapat kamar di lantai 6. Lantai tertinggi lantai 8. Jadi termasuk paling atas. Sekamar 4 orang, 2 pasang suami istri. Sebetulnya aku lebih sreg kalau sekamar isinya wanita semua, tapi para ibu tidak ada yang mau diajak berkumpul sekamar. Barangkali mereka lebih pede kalau didampingi suami, di tempat asing ini. Jadi, yah pasrah ajalah, selama 1 bulan di dalam atau diluar kamar harus berpakaian lengkap seperti ini.
Saat itu sudah pk 2 pagi. Sebetulnya sudah sangat capek. Tapi kami masih harus melakukan umroh wajib. Kalau mau melaksanakannya besok pagi setelah istirahat tidur, boleh saja. Tapi ada semangat ingin segera melaksanakan umrah. Selain itu, masjidil haram yang kami rindukan tinggal selangkah lagi. Kami ingin segera melihatnya.
Koordinasi kelompok sudah sulit dilakukan. Kami belum tahu Rombongan kami ada di kamar mana. Akhirnya teman sekamar dan sebelah kamar sepakat, kita umrah sekarang. Ternyata setelah turun, banyak juga yang siap-siap berangkat umrah.
Pk 2.30 kami berangkat. Semua belum tahu jalan ke arah masjidil Haram. Petugas haji sudah tidak ada. Jadi kami nekat aja berangkat. Lewat terowongan Sulaimaniyah. Masuk terowongan suasananya horor juga. Ada sih jalan khusus untuk pejalan kaki, tapi suara penyedot udaranya bising sekali. Apalagi ada teman yang menggunakan kursi roda. Kursi rodanya tidak muat di jalan setapak. Jadi harus melewati jalan utama, jalan kendaraan mobil, bus, truk. Padahal kendaraan melaju sangat kencang. Alhamdulillah sampai juga dengan selamat.
Dari kejauhan tampak menara masjid. Hati ini rasanya sudah membuncah. Haru yang teramat sangat. Pembimbing kami menuntun untuk masuk melewati pintu Babussalam. Gerbangnya besar tapi dengan banyaknya jamaah sepertinya pintu ini jadi sempit. Kami sangat berdesak-desakan. Begitu masuk terdengar suara adzan berkumandang. Wah, waktunya sholat subuh. Kami masing-masing semburat cari posisi untuk sholat. Sejak masuk berdesak-desakan kami sudah terpencar. Sekarang rombongan betul-betul amburadul. Mandiri betulan. Aku dan mas nang aja berpisah tempat. Pokoknya di mana ada tempat secuil, tongkrongin aja. Aku segera sholat sunnah tahiyatul masjid, kemudian sholat sunnah sebelum subuh. Setelah itu, menunggu sholat subuh. Nunggunya lamaaaa sekali. Eh, tahu-tahu ada adzan lagi. Tahulah kami, Ternyata adzan yang tadi adalah adzan pertama. Yaitu 1 jam sebelum sholat subuh. Busyet deh, sudah semangat 45 gini, jadi geli sendiri. Kurang informasi, sih.
Setelah sholat subuh, aku ditepuk seseorang. Ternyata mas nang. Ayo thawaf sekarang. Gak usah nunggu yang lain. Oke deh.

UMROH WAJIB

Seperti Kebanyakan jamaah haji Indonesia, kami melaksanakan haji tamattu. Yaitu melaksanakan umroh terlebih dahulu kemudian haji. Saat ini kami akan melaksanakan umroh wajib. Kami melakukannya berdua saja. Rombongan kami sudah berpencar.
Saat turun ke pelataran Ka’bah, aku sudah sulit menahan gejolak di dada. Campuran rasa haru dan gembira, yang tidak jelas batasnya. Sesuai dengan saran teman-teman yang sudah pernah melakukan, aku berjalan didepan mas nang dan mas nang memegang kedua bahuku seakan-akan menyetir arah jalanku. Pelataran sudah ramai, jamaah memenuhi lahan yang luas ini lebih dari separuhnya. Belakangan setelah merasakan hari-hari menjelang haji, ternyata kondisi ini terbilang sepi.
Bismillahi Allahu Akbar, kami memulainya dengan melambai ke arah hajar aswad. Gejolak haru sudah tidak terbendung lagi. Ada banyak orang tapi semua sibuk dengan pikiran, harapan dan do’a-do’anya sendiri. Semua harapan dan do’a yang kami ingat, terucap begitu saja. Seakan-akan mendapat flashback kehidupan kami yang lalu, kami meminta ampun karenanya. Kemudian mendapat visi tentang kehidupan yang akan datang, kami memohon perlindungan padaNya.
Sebenarnya Tidak ada do’a khusus saat memutari Ka’bah ini. Hanya ada anjuran do’a saat melewati rukun yamani, dimulai dari sudut sebelum sudut hajar aswad. Selain itu berdoalah memohon apapun yang teringat.
Tapi seperti saat manasik yang lalu, Ada berbagai macam cara orang berdo’a. Ada yang thawaf sambil membaca buku do’a. Ada kelompok orang, seorang yang memimpin do’a, kemudian yang lain mengikuti. Ada yang jalan miring menghadap Ka’bah. Banyak juga yang seperti kami. Berdoa sendiri. Semua variasi berdo’a tadi dilakukan oleh jamaah dari berbagai negara. Situasi cukup ramai, terutama di sekitar Hajar Aswad. Orang-orang berebut ingin menyentuhnya. Tidak ada keharusan untuk menyentuh Hajar aswad tapi ada banyak orang yang merasa, jika thawaf harus menyentuh hajar Aswad. Bahkan ada yang menjadikannya lahan bisnis. Jika ingin menyentuh hajar aswad membayar orang untuk melapangkan jalan menuju hajar aswad. Di sinilah orang-orang bayaran itu main sodok dan dorong siapapun yang menghalangi jalan mereka. Tidak hanya itu, aku juga sudah diingatkan, jika ada orang yang dengan ramah dan manis mempersilahkan kita untuk berjalan menuju hajar aswad, berhati-hatilah. Karena setelah itu kita akan ditarik bayaran atas ‘jasanya’. Itu cuma salah satu jenis akal-akalan orang-orang yang mau mencari keuntungan dari jamaah haji. Masih banyak jenis tipu-tipuan lainnya. Dan banyak pelakunya yang orang Indonesia sendiri.
Alhamdulillah, 7 putaran sudah selesai. Lalu cari tempat yang lebih longgar untuk sholat sunnah thawaf. Minum air zam-zam dari keran yang berjajar. Pilih yang dingin saja. Segar.
Demikian juga saat melakukan sa’i. Ada banyak cara orang berdo’a, ada yang baca buku, ada yang dipimpin ketuanya. Kalau kami, sama seperti saat thawaf berdo’a sendiri.
Alhamdulillah umroh wajib sudah kami lewati. Terakhir potong rambut sedikit untuk bertahallul. Tuntas umroh kami.
Saat akan pulang ke pemondokan. Satu persatu kelompok kami bertemu lagi. Akhirnya kami berkumpul dalam kemlompok kecil. Yah bagaimanapun, di tempat asing terasa lebih tenang kalau berkumpul dengan yang kita kenal. Tubuh rasanya sudah sangat penat, betis terasa kaku, bayangan tempat tidur tampaknya sangat nyaman. Baru teringat, sudah 30 jam kami tidak beristirahat dengan nyaman. Tapi sampai 40 hari ke depan kami memang tidak akan dapat beristirahat dengan nyaman. Kalau mau memang bisa, tapi sayang rasanya perjalanan yang dengan susah payah kita semua usahakan. Kalau sampai di sini melakukan itu.
Dengan ikhlas kami semua mengurangi waktu istirahat. Istirahat nyaman dan lama nanti saja deh di tanah air. Yang sekarang dinikmati saja. Jadwal kami sehari-hari, maksimal pk 3.00 dini hari bangun, siap-siap berangkat. Atau bangun lebih pagi pk 2.00, soalnya kamar mandinya harus antre 1 kamar mandi untuk 8 orang. Pk 4.00 sampai di masjidil haram menunggu sholat subuh. Kalau mau thawaf dulu juga bisa. Subuh di sini agak siang. Pk 5.00 lebih. Setelah itu tidak langsung pulang nunggu waktu dhuha dulu. Setelah sholat dhuha pulang, sampai di pemondokan antara pk 9 – 10. Sampai di pemondokan masak, mencuci, dll. Istirahat sebentar. Pk 3.00 sore berangkat lagi ke masjidil haram. Sholat dhuhurnya di pemondokan saja atau di masjid terdekat. Sholat ashar di masjidil haram, tapi sholat sendiri. Kami kembali lagi ke pemondokan setelah sholat isya. Sampai di pemondokan pk 8.30, mempersiapkan makan, dll. Pk 3.00 dini hari bangun lagi. Siklusnya begitu terus sampai berangkat ke Madinah.
Yah waktu istirahat yang kurang, tapi semua itu terbayar dengan kebahagian melaksanakan ibadah.

MEMBAYAR DAM

Ini hukumnya wajib, Kalau kita melanggar. Melanggar ketentuan yang bisa diganti oleh pembayaran dam. Karena ada juga yang tidak bisa diganti, seperti thawaf ifadah dan sa’i, atau berdiam di Arafah.
Karena kami melakoni haji tamattu’ maka kami harus membayar denda atau dam. Berupa menyembelih seekor kambing tiap orang. Menyembelihnya juga harus di sini. Nggak boleh di tanah air.
Tuntunan yang kami yakini adalah menyembelih kambingnya adalah setelah hari nahar yaitu tanggal 10 dzulhijjah. Berarti setelah dari Arafah dan setelah melempar jumrah Aqabah. Inilah tuntunan yang dicontohkan nabi. Tapi ada tuntunan lain, entah dari mana asalnya, pelaksanaan dam sebelum prosesi haji dimulai. Kelompok kami mengikuti tuntunan yang terakhir ini. Mereka menyembelih kurban sebelum berangkat ke Arafah.
Akhirnya kami memutuskan untuk membayar dam di bank saja. Mereka yang akan melaksanakan dan sekaligus mendistribusikannya. Bank-bank besar membuka banyak kios-kios kecil untuk menerima pembayaran ini. Kami membayar 450 real seorang. Jauh lebih mahal daripada pembayaran dam yang dilaksanakan oleh kelompok kami, 275 real. Tapi inilah harga sebuah keyakinan.
Pk 9.30 kami naik bus yang membawa ke tempat pemotongan hewan. Perjalanan ½ jam. Situasi di tempat pemotongan hewan suasana sudah sangat ramai. Sampai sulit mencari tempat parkir. Berjalan mendekati gedung pemotongan, semakin tercium bau kotoran binatang.
Jamaah yang terlihat di sini ternyata hanya jamaah dari Indonesia. Mungkin hanya jamaah Indonesia yang menganut tuntunan ini. Atau bisa saja tempat pemotongan hewan negara lain ada di tempat yang berbeda.
Para ibu tidak ikut masuk ke tempat penjagalan hanya ada beberapa bapak yang masuk. Jadi tidak tahu situasi di dalam.
Belakangan aku mendengar cerita, bahwa situasi pembayaran dam, kisruh. Mulai dari memilihan dan menentukan jumlah hewan yang akan disembelih. Jumlah kelompok kami yang akan berkurban saat itu 200-an, tapi kambing atau unta yang disediakan jumlahnya kurang dari itu. Belum lagi teman kami dilarang meminta sedikit daging atau bagian lain dari hewan yang dipotong. Padahal 1/3 bagian hewan kurban adalah hak yang berkurban. Jadi ada beberapa orang teman kami yang merasa kurang yakin dengan pembayaran dam ini. Tapi mau protes ke siapa ?
Semoga pembayaran dam kami yang lewat bank dilaksanakan dengan amanah.

BERKUMPUL DI ARAFAH

Sampai di Arafah, masuk tenda langsung tercium bau apek kain yang terendam. Yah, memang tenda di Arafah adalah tenda sementara jadi air hujan kemaren membasahi tenda dan karpet yang ada di bawahnya. Untung perlak bayi dari Mina dibawa jadilah kami tidak kebasahan di Arafah.
Suasana di Arafah terasa sendu. Bagaimana tidak, mereka sudah semalaman di sini dengan situasi dan kondisi tenda yang sama sekali tidak nyaman. Ada bagian-bagian tertentu dari tenda yang berlubang. Jadilah orang yang tepat berada di bawahnya seakan-akan beratap langit.
Siang setelah sholat, kami mendengarkan khutbah Arafah. Saat-saat wajib haji di mulai. Sayangnya karena tenda yang luas, suara mikrofon menjadi sayup-sayup di belakang. Yang bisa kami lakukan adalah berdoa dan berdoa. Semua puji-pujian, permohonan, harapan, ketakutan, apapun yang bisa kami ingat dan kami ucapkan mengalir begitu saja. Begitu juga aliran air mata yang mengiringi. Inilah haji yang sebenarnya. Haji itu adalah Arafah.
Di sekeliling semua sibuk dengan dirinya sendiri-sendiri. Aku ingin berdoa berdua. Kami keluar, duduk bersama. Jutaan orang yang berkumpul, tapi suara yang terdengar adalah suara angin dan helikopter yang berkeliling. Kami berkumpul di sini tapi mengurusi hati kami sendiri-sendiri.
Ya Allah terimalah haji kami.

BERKUMPUL DI MUZDALIFAH

Begitu waktu maghrib tiba, bersiap untuk pindah ke Muzdalifah. Kami mendapat jatah makan malam lebih dulu. Tapi karena situasi sibuk, dan takut ketinggalan bus. Ada yang antre makan ada yang tidak. Kebanyakan melakukan sholat, jamak maghrib & isya lebih dulu. Tuntunan yang kami dapatkan adalah sholat maghrib dan isya di jamak takhir di Muzdalifah. Tapi karena melihat teman2 sholat, aku keder juga. Melihat suasana yang hiruk pikuk, ada yang mengepak perbekalan, antre makan, antre kamar mandi, antre nunggu bis, sholat, jadi ikutan bingung. Tapi mas nang bilang ‘kita sholat di Muzdalifah’. Kalau sudah gitu, nurut aja deh. Jadinya kita antre makan.
Antre bus juga harus penuh kesabaran. Jangan nyelonong aja. Lihat nomor busnya. Karena nomor bus itu adalah bus yang memang diperuntukkan untuk kelompok kita. Kalau keliru naik, bisa-bisa kita tidak sampai di kemah kita yang di Mina. Ya memang, bus ini trayeknya berputar aja sesuai dengan nomornya. Jadi nomor antrean kita di arafah – Muzdalifah PP. Bus nomor yang sama, nantinya juga akan mengantar dari Muzdalifah – Mina PP. Yang gitu namanya sistem taraddudi. Jadi kalau salah naik bus, nggak tahulah kita diantar kemana. Waktu briefing kemaren sudah dikatakan oleh pembimbing. Kalau kita hilang atau tersesat di masjidil Haram, kita akan dicari. Tapi kalau hilang di arafah, Muzdalifah atau Mina, kita dicarinya setelah acara haji selesai semua. ‘kan horor ‘tuh. Jadi ikut perintah aja deh.
Kita diperintahkan naik bus dengan sigap. Kapasitas bus tidak dibatasi. Pokoknya kayak naik bus ekonomi di Indonesia. Dimasuki orang sampai sepertinya menempatkan kaki aja sulit.
Muzdalifah, tanah lapang yang sangat luas. Tifak ada tenda, tapi sudah disiapkan terpal untuk kita duduk sejenak dan suasana ramai tapi terasa sepi. Berdiam di Muzdalifah hukumnya wajib. Sebetulnya di sini, kita hanya berdiam sebentar. Tidak ada kewajiban melakukan apapun. Tapi baik juga mengisi waktunya dengan berdo’a atau istighfar. Teman-teman sibuk mengambil batu. Kami berdua mengambil batu secukupnya, hanya untuk besok saja. Tuntunan yang kami yakini begitu. Sedangkan untuk jumrah selanjutnya boleh ambil batu dimana saja. Di Mina juga boleh. Tapi ada anggapan umum di kalangan jamaah haji, ambil batu untuk jumrah, ya di Muzdalifah ini. Ada banyak batu di sini. Tapi lampu senter yang kami persiapkan, tidak dipakai karena suasana sudah terang benderang. Anjuran membawa senter, kayaknya berasal dari jamaah haji bertahun yang lalu. Saat muzdalifah masih gelap, belum diterangi lampu.
Turun bus, Aku langsung melihat-lihat tempat yang enak untuk sholat. Kita ‘kan belum sholat maghrib. Padalah sekarang sudah isya. Kata mas nang tenang aja. Tapi aku sepertinya terbawa suasana. Jadi sepertinya panik, ingin segera melaksanakan sholat. Akhirnya mas nang ngalah, cari tempat yang tenang, lalu sholat. Di kelompok kami, yang sholat hanya kami saja. Sedangkan di sekitar, ada banyak yang juga baru sholat maghrib dan isya di jamak seperti kami.
Ambil batu sudah, sholat sudah. Apalagi ? ya nunggu. Nunggu waktu berangkat ke Mina. Jadi ambil posisi yang enak untuk istirahat/tidur. Tapi nggak bisa tidur. Karena kondisinya, kondisi siap-siap berangkat lagi. Kalau kelompok lain ada yang langsung tidur. Memang ada juga yang beranggapan bahwa berangkat ke mina besok paginya. Afdholnya memang begitu. Berangkat setelah sholat subuh. Tapi kelompok kami beranggapan jika semua berpendapat seperti itu, nanti akan kerepotan sendiri. Bayangkan jutaan orang diberangkatkan dalam waktu yang bersamaan, bisa-bisa sampai di Mina sudah siang.
Jadwal awal berangkat ke Mina setelah pk 00.00. sebelum itu tidak sah. Kalau melanggar dendanya memotong 1 ekor kambing.
Akhirnya, pukul 23.00 komando untuk antre naik bis datang juga. Kami antre di pintu pagar. Sebetulnya jadwal untuk naik bis sudah ada. Tapi ada kelompok lain yang main serobot aja. Jadi situasinya betul-betul hiruk pikuk. Pembimbing dengan corongnya. Mengingatkan kita untuk antre, sekaligus mengingatkan kelompok lain, bahwa saat ini adalah hak kita. Ditambah lagi, ada petugas arab yang mengingatkan dengan bahasa Indonesia seadanya. Kelompok lain itu, kalau di dengar dari logatnya, kayaknya dari daerah jawa barat. Ada anggota kelompok itu yang sungkan juga, mereka menyingkir. Tapi ada juga yang ngotot, jadilah berebutan dengan mereka naik bus. Akhirnya ada beberapa orang kelompok lain di dalam bus. Mereka naik bisnya bener nggak jalurnya ? waduh, eling pak, melanggar hak orang lain, dholim tuh. Meninggalkan Muzdlalifah pukul 01.00 (antri 2 jam sejak ada komando untuk antri). Melebihi tengah malam, berarti sudah memenuhi syarat sebagai mabit di Muzdlalifah.
Sampai di tenda Mina. Ada tantangan baru. Mencari kapling untuk tidur. Maklumlah, kita ‘kan akan tidur di sini, minimal 3 hari. Kita hanya disediakan satu tenda besar untuk 225 orang. Ada ibu yang tetap ingin tidur di sebelah bapaknya. Wah, rumit juga nih urusannya. Akhirnya suara terbanyak menang. Dibuat garis pembatas dari tumpukan tas kami sendiri. Bagian sana untuk bapak2, bagian sini untuk ibu2. Beres deh. Dan disepakati lempar jumrahnya berangkat pk 7.00. pagi. Berarti lempar jumrahnya pk 8.00, waktu dhuha. Wah waktu afdhol ‘tuh. Semoga lancar dan selamat.

JUMRAH AQABAH

Setelah sholat subuh, kami siap-siap berangkat untuk lempar jumrah. Ada mempersiapkan batu bekal semalam, ada yang antre kamar mandi, ada yang antre mencari minuman hangat, ada yang ngaji, ada yang cuma ngobrol aja.
Antre kamar mandi betul-betul perjuangan. Sejak di tangah air sudah diingatkan bahwa antre ke kamar mandi di Mina ini bisa sampai 2 jam. Tapi pengalaman kami nggak sampai segitu kok. Kira-kira ½ jam udah dapat giliran masuk kamar mandi. tapi ibu-ibu tua, yang sulit menahan, yah langsung buang air kecil dalam antrean. Jijik ? mungkin. Tapi yang pasti. Baju ihrom kita kalau kecipratan, ‘kan najis. Harus ganti. Padahal bawa persediaan ganti cuma satu, itu juga gantinya nanti kalau sudah lempar jumrah Aqabah.
Minuman hangat juga disediakan, tapi siapa cepat dia dapat. Karena banyak yang minum hangat nambah terus. Maklum suhu udara di Mina saat itu dingin menggigit. Jadi melawannya dengan minuman hangat.
Tapi, meskipun tidak kebagian teh, susu atau kopi, nggak apa-apa kok. Kami sudah membawa bekal itu semua. Kalau air panas tinggal ambil di dapur. Di situ ada keran air panasnya. Tinggal ambil.
Pk 7.00 kami berbaris, berangkat melempar jumrah. Ke luar areal tenda. Barisan kelompok lain juga terlihat. Dari perkemahan kami – tempat pelemparan melewati 2 terowongan, ber-AC. Berjarak kira-kira 2 km.
Kami berjalan pelan-pelan, karena cepat juga tidak mungkin, akibat sesaknya orang. Aku dan mas nang menggumamkan talbiah sesuai tuntunan yang kami yakini, tapi kelompok kami mengumandangkan sholawat. Ada juga kelompok lain yang seperti kami bertalbiyah, kebanyakan jamaah Turki. Akhirnya ada juga kelompok kami yang hilang keyakinannya, ikut-ikutan bertalbiyah.
Semakin mendekati tempat yang dituju. Situasi semakin ramai. Situasinya terasa seperti masuk kamp peperangan. Tentara Arab berjaga-jaga. Berjajar, seperti pagar betis. Lengkap dengan senjatanya pula. Helikopter militer berputar-putar di atas.
Sepertinya memang penanganan orang sebanyak ini, harus dengan sistem militer. Soalnya orang-orang yang bandel banyak juga. Dan dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya. Ketidakteraturan berakhir pada kekacauan dan kematian massal.
Gedung tempat pelemparan jumrah ada 6 lantai. Tapi yang beroprasi masing 4 lantai. Masing-masing lantai ada jalan masuknya sendiri, jalurnya satu arah. Jadi, kalau salah ambil jalur masuk, kita tidak diperbolehkan berbalik. Ya, jalan terus aja.
Kami dituntun oleh pembimbing untuk masuk ke jalur lantai satu. Di dalam gendung tentara berjajar, sesuai dengan jalur yang harus kami lewati. Kami tidak boleh ambil jalur lain. Padalah kami ingin lempar jumrah dari sebelah kanan, karena berarti melemparnya menghadap ka’bah. Tuntunannya begitu.
Tempat pelemparan berbentuk mangkuk raksasa lonjong. Ditengahnya ada tembok untuk sasaran melempar. Sampai ditempat pelemparan. Orang-orang segera berebutan melempar. Tapi, ‘sabar, jangan keburu lempar, jalan aja terus sampai di ujung satunya’, gitu kata mas nang. Betul juga di ujung satunya situasi sepi jadi kami bisa melempar dengan bebas di bibir ‘mangkuknya’. Allahu Akbar, dan melempar 7X. Alhamdulillah, satu kewajiban lagi sudah terlampaui.
Ada orang, kelihatannya orang India, mengacungkan jempol lalu bilang Haj ? aku bingung, mas nang menyambut Haj ! lalu ia menepuk-nepuk bahu mas nang. Oo rupanya, itu adalah ekspresi lega salah satu prosesi wajib terlampaui. Ya memang, setelah melempar jumrah Aqabah ini, artinya kami sudah terbebas dari suasana ihrom. Kami mencukur rambut, dan sudah bebas dari larangan selama ihrom.
Kami diwajibkan selalu berjalan, dilarang diam. Para tentara akan mengingatkan, untuk terus bergerak. Jadi kami berjalan pelan-pelan sambil berdo’a. lalu bergantian saling memotong rambut, untuk tahallul.
Alhamdulillah lancar.
Selama di tanah air kami diberi gambaran bahwa tantangan melempar jumrah adalah berdesak-desakan saat melempar jumrah. Maklum jutaan orang memiliki tujuan yang sama, di tempat yang sama. Apalagi kami memilih melempar di waktu favorit atau afdhol.
Perjalanan pulang ke perkemahan ternyata lebih ramai. Orang-orang ada yang langsung menggundul kepalanya di sama. Jadinya pemandangan pangkas rambut liar dipinggir jalan. Beserta tumpukan rambut-rambut. Ih, jorok.
Saat pulang ini kami meneriakkan takbir. Kelompok kami juga bertakbir. Untuk yang satu ini, kami memang tidak diajari saat manasik. Tapi dengan banyaknya orang meneriakkan takbir. Ikutlah kami semua bertakbir.

THAWAF IFADHAH

Setelah merasa cukup beristirahat sekembali dari Mina, kami bersiap-siap ke Masjidil Haram untuk thawaf ifadhah dan sa’i. Suasana di masjidil haram sangat…sangat….sangat padat. Ada barikade yang melarang kami untuk turun ke pelataran Ka’bah. Kami di arahkan untuk thawaf di lantai 2. Sebetulnya sama saja. Namun kami merasa lebih khusuk jika thawaf langsung di depan Ka’bah. Selain itu, di laintai 2 ini lintasannya lebih jauh. Kira2 1.2 km tiap putaran.
Akhirnya kami pasrah, naik ke lantai 2. Di sini sama saja, betul-betul padat. Dilarang berjalan melawan arus. Bahaya.
Kami mulai thawaf. Tapi saat bisa melihat ke bawah, ke pelataran Ka’bah kami menilai, kami bisa thawaf di bawah. Kami memutuskan untuk berhenti 1 putaran. 6 putaran selanjutnya akan kami jalani di bawah, di pelataran Ka’bah. Semoga boleh turun tangga.
Ternyata daerah tangga di dalam tidak ada penjaganya. Kami turun dan mulai melanjutkan thawaf ifadhah di pelataran Ka’bah. Situasi betul-betul padat. Seluruh halaman Ka’bah penuh sesak, dari ujung ke ujung. Kami berulang kali terdesak sampai pinggir. Tapi itu tidak mengurangi kekhusukan melakukan ibadah. Permohonan ampun, harapan, dan Semua do’a yang kuingat kulantunkan semua. Berulang-ulang.
Kemudian sholah sunnah thawaf dan meminum air zam-zam.
Lintasan sa’i juga tidak kurang padatnya. Meskipun sudah capai, mas nang tetap semangat berlari kecil saat melewati lampu hijau. Kemudian berbalik menungguku. Ya, di lintasan sa’i kami diperbolehkan untuk berbalik. Tapi jika saat thawaf kami berbalik atau memunggungi Ka’bah, maka kami dianggap batal. Untuk itu, harus mengulangi putaran itu, mulai dari hajar aswad lagi. Dan saat thawaf juga kami harus dalam keadaan suci. Dalam keadaan berwudlu. Sedangkan saat sa’i, meskipun batal wudlunya, kami tetap diperbolehkan melakukan sa’i.
Selesailah semua prosesi haji kami. Tapi kok kayaknya ada yang mngganjal ya? Sepertinya saat putaran ke-6 aku sedikit kentut atau agak beser atau kencing sedikit. Wah, bagaimana nih ? aku bilang mas nang. Akhirnya besoknya setelah sholat isya, aku diajak mas nang menyempurnakan thawaf, untuk menghilangkan keraguanku.
Memang saat berhaji, kita melaksanakan haji dengan benar dan sempurna atau tidak, yang merasakan adalah diri sendiri. Orang lain, meskipun orang terdekat kita sekalipun tidak akan tahu jika kita diam saja. Apakah hitungan thawaf kita genap 7 X atau kurang ? apakah kita sudah berihrom dengan sempurna ? apakah hitungan sa’I kita genap ? semua itu hanya kita yang bisa menjawab.
Ya Allah semoga Engkau terima ibadah haji kami. Amin.