Senin, 07 Februari 2011

KEARIFAN LOKAL yang masihkah ‘ARIF’

Dari sebuah sumber (maaf lupa asal sumbernya), aku dapatkan maksud dari istilah kearifan lokal. Sorry saya kutip. Kearifan lokal selama ini dimaknai sebagai sebuah proses kompromi budaya yang dilakukan ketika budaya lokal bersentuhan dengan budaya-budaya lain dari luar. Dalam proses tawar-menawar itu kearifan lokal mendorong terjadinya sebuah perubahan sebagai sebuah konsekuensi logis kenyataan bahwa suatu bangsa bukanlah merupakan satu-satunya komunitas di dunia ini.
Yang mau aku bahas adalah suatu budaya yang sudah dianut dan diterima oleh masyarakat sekitar. Budaya yang relatif masih baru. Tadinya dari daerah pinggiran dan dianut oleh warga asli. Kemudian meluas sampai ke kota dan dianut oleh siapapun yang bertempat tinggal di sini. ‘Kearifan’ itu bernama panggungan.
Panggungan itu adalah sebuah pemberian sebagai ungkapan terimakasih dari seseorang karena perhatian orang lain. Berbentuk benda. Benda apa saja sesuai momennya. Momennya adalah mengunjungi orang melahirkan, teman yang menyunatkan anaknya, pindah rumah, berangkat atau pulang dari ibadah haji dll. Biasanya tuan rumah akan memberikan tanda terimakasih dengan benda.
Nilai benda ini (baca : harga), bisa berapa saja. Tapi pada umumnya, nilainya sesuai dengan strata sosial orang yang punya hajat. Jadi ada, yang bernilai 10 ribuan, 50 rb, dsb. Yang aku dapat selama ini, kalau diperkirakan dari nilainya, antara 3 rb – 500 rb.
Benda yang diberikan, bisa apa saja. Bisa berbentuk makanan atau peralatan rumah tangga yang kecil-kecil, pakaian, atau apapun barang di toko yang mungil, unik dan berharga ekonomis. Ini kalau tuan rumah orang ‘biasa’. Jika orang ‘berpunya’ maka panggungan akan lebih tampak berharga. Beberapa kali aku dapat panggungan yang kalau dinilai dengan uang, bernilai lebih dari Rp 300 ribu. Bayangkan ! itu baru pemberian untuk satu orang. Padahal yang diberikan bisa beratus-ratus orang.
Tapi ada juga, pemilik hajat yang mengelompokkan nilai panggungan sesuai dengan tempatnya di kelompok masyarakat. yang orangnya tampak sederhana akan ‘mendapat’ panggungan yang ‘sederhana’ (baca : murah) juga. Tapi yang kelihatan ‘borju’ akan mendapat yang ‘oke’ juga.
Dasar filosofinya bagus. Menghargai perhatian orang pada kita. Hanya sekarang ini, mungkin filosofi itu sudah bergeser dengan yang namanya gengsi dan keharusan. Sebetulnya panggungan adalah ‘sunnah’, tapi belakangan ini sudah menjadi ‘wajib’. Orang akan heran dan mempergunjingkan jika datang ke orang yang sedang punya ‘gawe’, pulangnya tidak membawa apapun. Atau bahkan, jika panggungannya dinilai tidak berarti, tidak berharga, atau kasarnya berharga murah, jika orang yang didatangi dikategorikan orang berpunya.
Paling tidak, ada anggapan bahwa jika mengunjungi seseorang, haram hukumnya jika tamu kita pulang dengan tangan kosong. Kalau sekarang belum siap atau persiapan kita kurang maka di lain hari ‘itu’ harus diberikan ke rumah tamu yang belum kebagian tadi. Kalau tidak punya uang, hutang dulu. Masya Allah !
Dari pembicaraan di kalangan ibu-ibu, jika punya ‘gawe’, banyak yang merasa dipusingkan dengan pemilihan jenis panggungan yang tepat, tidak memalukan tapi ekonomis. Bagaimana tidak, dalam satu momen tuan rumah kadangkala harus menyiapkan sampai 500 buah panggungan atau lebih, tergantung dari populer tidaknya orang itu. Suatu jumlah yang cukup membelalakkan mata dan menguras kantong. Padahal jika tidak disediakan pun, sebetulnya tidak apa-apa. Sayangnya, itu kalau di kelompok masyarakat lain. Bukan di sini.
Bahkan tidak sedikit yang menyembunyikan perhelatan acara, bahkan mengurungkan niat membuat acara karenanya. Dari tahun ke tahun, ada saja cerita, baik yang aku dengar dengan telingaku sendiri atau dari orang lain. Orang-orang yang mengundurkan perjalanan haji atau mengadakan perhelatan lain karena tidak ada dana untuk ini. Tragis bukan ? sesuatu yang wajib menjadi nomor dua setelah sunnah.
Khusus untuk perjalanan haji. Ada juga yang berangkat dari daerah lain untuk menghindari kewajiban ini. Untuk yang terakhir, mungkin ini win-win solution.
Sudah banyak yang merasa, perlu kembali ke filosofi awal ‘apa arti panggungan yang sebenarnya’. Atau bahkan tidak sedikit juga yang ingin menghentikannya. Tapi sayangnya belum ada yang punya nyali untuk memulai. Atau jika ada yang punya nyali untuk melaksanakan, akan digagalkan keluarga lain yang ciut nyalinya. Atau seperti aku tadi. Ada teman baik yang tidak tega temannya digunjingkan. Mau jadi orang ‘muka badak’, gagal deh.
Sesuatu yang menyenangkan, jika berubah menjadi keharusan, maka akan menjadi tidak menyenangkan lagi.
Jadi apakah masih bisa dikatakan ‘arif’.

Related Posts sesuai kategori



Tidak ada komentar:

Posting Komentar